Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang...

Kamis, 21 Januari 2010

Si Sulung dan harapan Si Bungsu...



Kata orang enak menjadi yang terakhir dalam keluarga karena selalu dikasihi dan di manja, mo minta ini or itu semua pasti ada. Namun tidak dengan ku, kemanjaan itu tidak kunikmati sepenuhnya. Ego ku memang kuat tapi perasaan q jauh lebih kuat. Ku takkan sampai hati mempermaikan orang tuaku yang telah bersusah payah membesarkanku. Lahir dari seorang wanita dan laki-laki muslim membuat ku bersyukur, mereka mengajarkan ku banyak hal. Darah Jawa yang masih kental dari keduanya mengalir d tubuh diriku dan mbakku membentuk karakter lembut pada kami walau menurutku itu tidak ada pada ku. Kehidupan yang sopan dengan kata-kata yang lembun menghantarkan hingga kami dewasa sampai saat ini. Beda usia 6 tahun pada kami membuat idupku terasa sempurna, egoku yang ingin menang sendiri dan memaksa mbak mengalah menjadi rutinitas sehari-hari meramaikan rumah yang tidak begitu indah namun nyaman untukku. Ibu selalu membela ya dan aku mencoba mendekati ayah. Masa kecil yang indah walau tanpa bertaburan boneka kini ku rindukan, pernikahan mbak merupakan awal hidup barunya dan masalah untukku. Pertengkaran kecil itu tidak dapat ku nikmati lagi sebagai kehangatan keluarga, walau kami tidak pernah saling cerita mencurahkan isi hati tapi kami bias saling berbagi. Pernikahan yang terkesan mendadak untukku merasa akan kehilangan mbak ku yang pendiam itu. Usianya 22tahun saat itu dia bekerja sebagai pramuniaga di salah satu toko, setelah tamat SMA beliau tidak ingin melanjutkan sekolah tapi lebih baik bekerja mencari uang, entah kenapa dia tidak mau, mungkin karena dia tidak mau menambah beban orang tuaku, padahal saat dia lulus aku baru saja memasuki dunia SMP. Kalo saja dia kuliah dan bias bekerja ditempat yang lebih baik,mungkin dia dapat membiayai ku menjalani pekerjaan sebagai mahasiswa. Tapi nasi sudah menjadi bubur, kini dia telah menikah dan menjalani hidup baru dengan orang yang dipilihnya dan dicintainya. Katanya, mereka telah berpacaran 4 tahun lamanya kini mereka telah menjalin hubungan suami istri yang halal. Upacara pernikahan menjadi saat-saat yang mengharukan, satu beban ayah telah hilang, Bahagia melihat dia bahagia mengarungi hidupnya yang baru membentuk organisasi kecil. Namun itu tidak ku rasakan dalam jangka waktu yang lama, karena permintaanku ayah dan ibu mengizinkan mereka untuk tinggal dirumah kami. Segala tingkah dan tindakan kakak iparku terlihat jelas. Seminggu, dua minggu berjalan dengan baik. Ada kebanggaan pada ayah menyerahkan putri sulungnya pada lelaki yang tepat. Namun itu hanya dalam jangka waktu yang singkat, tidak ada yang tau akhirnya akan buruk entah ini bukan akhir tapi awal yang buruk. “Kita seperti membeli kucing dalam karung…!!!” kalimat yang terlontar dari aya yang mengisyaratkan sebuah penyesalan. Kakak iparku tidak sebaik dan sehebat yang kami kira, dia hanyalah seorang lelaki yang tidak tamat SMP, dri keluarga Palembang asli yang miskin namun sombong, keras dan temperament, untuk kami fisik, harta dan background keluarga tidak terlalu penting, yang penting adalah Akhlak dan keimanannya. Jangan kan sholat lima waktu, bahkan untuk sholat jum’at saja dia sungkan, bangunnya selalu siang ayah sudah berangkat kekantor dia baru bangun. Itu memberikan pengaruh yang burup pada mbak ku, yang juga malas untuk bermunajat kepada sang Khalik. Ibu selalu memberi nasehat untuk dia mengingatkan suaminya untuk sholat. Namun tampaknya mbak tidak berani melakukan itu, suaminya yang temperament, tidak bias menerima saran dari orang lain. Dia merasa paling benar. Kadang ketika mereka bertengkar kakak tidak menegur mb sedikitpun, mencuekkan nya dan meninggalkan dia begitu saja dengan sarapan yang sudah susah payah dimasak. Sering sekali aku melihat pertengkaran mereka, mbak tidak bias berkata-kata, dia hanya bias diam dan menangis dibelakang tanpa sepengetahuan sang suami, dan kalaupun kakak tau dia bukan malah menghentikan tangisannya tapi malah menbentaknya dengan lebih keras. Aku tau sekali bagaiman mbak, perasaannya sangat lembut sekali,sama dengan ku. Kami tidak biasa mendengar dan menerima kata-kata keras apalagi kasar mungkin karena kami diajarkan untuk berkata-kata lembut penuh sopan santun sejak kecil. Hanya bedanya aku punya keberanian untuk mengatakan apa yang ada dalam otak dan hatiku tapi tidak dengan mbak ku.Dia hanya biasa menangis, setauku dia juga tidak mempunyai sahabat tempat dia berbagi. Aku idak tau apakah pertengkaran itu asam manis dari sebuah pernikahan atau keotoriteran seorang suami atau kerapuhan seorang wanita. Yang jelas utu membuat ku menjadi takut untuk menikah. Tidak hanya itu, kakak juga berani melawan ibu, ibuku memang sangat cerewet, aku tau itu begitu juga dg mbak. Oocehan-ocehan beliau telah menjadi makanan sehari-hari namun tidak untuk kakak ku,aku tidak tau apakah mbak telah member pengertian kepada kakak atau memang kakak yang temperament. Saat mbak sedang mengandung, pernah terjadi adu mulut antara kakak dan Ibu, anak mana yang tidak sakit melihat dan mendengar ibunya di sakiti. Saat itulah hatiku luka, dan kebencian menyelimutiku kepadanya. Tak ada rasa simpatik sedikitpun kepadanya. Aku tidak bias membayangkan perasaan mbak yang harus memilih antara orang tua atau suami,terlihat jelas diwajahya menghadapi masalah-masalah itu. Aku saja meras sangat terpukul apalagi mbak ku yang lemah itu. Allah memberikan jalan untuk mempersatukan kami kembali dengan menghadirkan malaikat kecil yang merupakan cucung pertama to ayah dan ibuku. Itu tidak berlangsung lama,pertengkaran terjadi lagi. Lagi…lagi… dia menyakiti hati ibuku tercinta, tanpa ada rasa sopan dan santun dia lempar begitu saja uang kearah ibu, berkata-kata kasar dan menjelek-jelekan ibu didepan kedua anak sang ibu yang sudah tua itu. Sang sulung tidak bias berbuat apa2, hanya menangis dikamar tapi si bungsu ternawa emosi membentak kembali mencoba melindungi ibu. Kata-kata menyakitkan keluar begitusaja tanpa dapat kukendalikan, suasana panas menyelimmuti rumahku tercinta. Aku tidak mau kalah, lelaki itu memang keras, dialek palembangnya masih melekat keras namun perkataanku jauh lebih tajam. Ingat sekali saat dia mengatakan sambil menunjuk kearahku “Diemlah kau…!!!” ,lalu gd tidak kalah aku pun membalas “Kau yang diem, dak berhak kau ngomong dirumahku!!!” dia keluar membawa semua pakaianya. Pandangan tajamku tetap tertuju padanya,kebencian sangat-sangat menguasai pikiran dan hatiku, ingin rasanya ku robek mulutnya itu namun aku tidak punya kekuatan untuk itu, doa penuh kebencianku terucap jelas “Kau akan menyesal dan tidak akan pernah bahagia”kataku. Apalagi ku lihat ibuku begitu marah,perasaan kecewa dan semuanya terlukis diwajahnya. Tak ada airmata yang jatuh, namun tanpa sepengetahuan ku, dia menangis. Air matanya tumpah memikirkan perasaan putri sulungnya. Sejak kejadian itu,kakak tidak pernah mengnjakan kaki dirumah ini lagi singkat cerita dia memutuskan untuk pergi ke kota Bandungm mencoba mengadu nasib disana. Keberangkatan mbak yang kupikir untuk selamanya seperti saat ayah dan ibu melakukan transmigrasi kePalembang dan tak kan kembali kekampung halaman. Saat itulah air mata yang tidak pernah kulihat sebelumnya mengalir deras, pipi ayah basah menghantar petualangan putrinya pertamanya itu. Aku sangat sedih, takut tidak pernah biasa bertemu satu-satunya saudaraku. Namun hatikecilku berkata”kau akan segera kembali”. Ternyata benar, tak kurang dari satu bulan mbak menelpon, untuk minta dikirimi uang karana pekerjaan yang mereka tuju bangkrut. Singkat cerita mereka kembali tinggal dPalembang,menghuni salahsatu kamar rumah kami pastinya rasa malu dan maaf kepada orang tuaku. Ternyata pengalaman tidak menjadi guru bagi kakakku, dia tidak berubah. Perilaku kasarnya pada mbak selaku ku dengar walau tidak sampai main tangan tapi kata-kata melukai saudariku. Adu mulut dg ibu jg terulang kembali, semua karena mbak yang tidak bias berbicara kepada ibu dan kakak. Untuk ke 2 kalinya aku melihat dan mendengar dia menghina ibu. Dimana rasa terimakasihnya, tapi kali ini prilakunya tidak ingin kulihat. Dia bersama ponakanku dan mbak pergi meninggalkan rumah. Ibu tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak salah. Ku hanya biasa menangis,aku tau ibu tidak menangis didepanku tapi ketika aku pergi meninggalkan rumah dan dia sedang sendiri air mata itu runtuh.

Begitu beratnya cobaan hidup yang dihadapi mbak ku tercinta, aku merasa dia tidak pantas mendapatkan lelaki seperti itu. Aku tidak bias membayangkan hatinya harus hidup selamanya dengan orang yang telah menjelek-jelekan serta menghina keluarga yang dicintainya. Aku hanya bias berdo’a agar mbak diberi kekuatan, aku hanya mencoba be Khuznu zhan, mungkin hatinya bahagia. Semoga dia bahagia selalu. Dan silahturahmi kami tidak pernah terputus. Dab juga semoga Allah melembutkan hati kakak, tau mana yang baik dan yang buruk.

Sedih dan penyesalan kenapa ini harus terjadi di keluarga kami, aku kadang iri dengan saudaraku yang banyak kakak dan adik. Tidak ada masalah ketika mereka telah menikah, seperti saudara-saudaraku diJawa tentram2 saja. Namun kenapa kami yang hanya dua orang bias terpecah,…semoga ini tidak berlangsung lama. Tapi jika aku tidak bias menerima masalah ini dengan lapang dada aku bukan termasuk orang-orang yang bersyukur, aku tidak mau menjadi orang yang kufur. Aku yakin Allah memberikan jalan yang terbaik untuk mbak dan semuanya. Salut kepada mbak.

Dampak dari peristiwa ini jelas tertuju padaku,si bungsu yang lemah ini. Satu-satunya beban ayah dan ibu adalah aku,harapan hidup mereka hanya tertuju padaku. Ini yang membuat aku kadang sangat berat memikulnya, namun ku coba tuk tegar. “Dek, kamu habis-habisin lah harta ayah untuk kuliahmu, jadi orang yang sukses. Bantu ayah dan ibu, cari cowok yang bener, jangan seperti mbakmu”kata kakak sepupuku. Tidak hanya itu,banyak saudara-saudara mengatakan hal yang sama, klo cari cowok harus tau latarbelakangnya dulu, harus begini,,,harus begitu.,,, jangan begini…jangan begitu…cari yang ini…cari yang itu. Jangan seperti mbak mu yang begini lah, yang begitulah...pusing bila harus mendengarnya. Nasehat2 aku terima dari berbagai sisi,namun belum terlintas dipikiranku saat ini untuk menikah, amanah pendidikan, mengejar karir serta bayang-bayang takut untuk itu masih menghantui jelas difikiranku.Aku hanya ingin terus berbakti kepada orang tuaku. Aku ingin mereka merasakan manisnya perjuangan mereka mendidik anaknya dan memiliki aku sepenuhnya sebelum menyerahkan ku kepada lelaki yang mereka percaya.

Aku percaya Allah sudah menciptaka Pangeran untuk hidupku, sekarang dia sedang ditarbiah Allah, lelaki itu hanya memberikan hatinya untukku, dia pun merindukanku tanpa tau siapa aku. Aku pun tidak ingin banyak memilih aku hanya meminta Agar Allah memberikannya disaat yang tepat melalui orang ketiga, menghadirkannya sebagai penyempurna agamaku dan hidupku, sebagai pangeran yang kunantikan tanpa tau siapa dia. Seorang pangeran impianku yang dapat menjadi seorang kakak yang Selama ini ku rindukan kehadirannya,kakak yang bisa berbagi melindungi adiknya, pangeran itu biasa menjadi sahabat tempat berbagi suka dan duka, mempererat dan memperluas hubungan dua keluarga, tidak pernah mengagap keluarganya yang menjadi prioritas tapi juga keluarga ku, seorang pria yang biasa memberikan ketenangan dan tempat ku biasa saling berbagi kasih sayang,menjadikan kekurangan sebagai kelebihan dan kelebihan sebagai anugrah yang harus disyukuri. Seorang lelaki yang memberika kebebasan kepadaku dalam berekspresi dan berbicara, menjadi teman tempat belajar dan berbagi ilmu, biasa menjadi selimut dikala dingin, memberi kehangatan dalam kedinginan, menjadi penyeduk dikala kegundahan datang, menjadi cahaya dikala kegelapan menyertai, menjadi sapu tangan penghapus airmata dan keringat, begitu juga sebaliknya, Kami saling mencintai karena Allah,swt. Dan terus akan berjuang di jalan Da’wah Nya, dan yang terpenting pangeran itu akan menjadi Imamku, pemimpinku mengarungi lautan dunia yang penuh dengan kemunafikan, menghantarkanku menuju kebahagiaan sampai kesyurga….Amin

_mentari Syifazillah rizky_

Tidak ada komentar: